Catatan Pinggir Pelaksanaan Layanan Sidang Itsbat Nikah Melalui Prodeo dan Sidang Di Luar Gedung Pengadilan
Sungai Raya, 31/12/2024 – Jamak kita dengar, sering kita disuguhkan berita-berita mengenai layanan hukum berupa kemudahan akses keadilan, acces to justice oleh Badan-badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung RI. Dalam rangka memastikan bahwa setiap orang terjamin haknya untuk memperoleh bantuan hukum. Dalam rangka memberikan akses seluas-luasnya pada masyarakat untuk mengakses keadilan. Dalam rangka bertujuan meringankan biaya, memberikan akses keadilan, memberikan kesempatan mengakses keadilan, memberikan pelayanan prima, namun tidak jarang tujuan peningkatan kesadaran hukum terkadang sering terlupakan atau tidak sering menjadi skala prioritas.
Dalam rangka memastikan setiap orang berhak mendapatkan pengakuan hukum tanpa diskriminasi termasuk hak membentuk keluarga dan keturunan melalui perkawinan yang sah, dan hak anak atas identitas diri yang dituangkan dalam akta kelahiran, namun tidak jarang hal penting berkaitan dengan maksud dan tujuan adanya kemudahan pelayanan yang bermuara pada adanya kesadaran hukum, kesadaran akan pentingnya pencatatan nikah di hadapan pejabat yang berwenang terabaikan.
Benar memang gamblang dengan adanya giat Prodeo, Sidang Di Luar Gedung Pengadilan, Posbakum lalu nilai “Berkeadilan” terutama bagi masyarakat tidak mampu dalam hal akses dan biaya beperkara, nyata terwujud. Namun bila sikap tindak memudahkan layanan/memberikan acces to justice berupa layanan prodeo dan penyelenggaraan Sidang Di Luar Gedung Pengadilan tersebut kemudian mengancam nilai lain yakni nilai “Kepatuhan/Ketaatan hukum”, maka disini perlu nilai “Keseimbangan” yang berdiri di tengah-tengah agar nilai Berkeadilannya tetap mewujud namun disaat bersamaan tidak meruntuhkan nilai Kepatuhan/Ketaatan hukum masyarakat dalam hal pencatatan pernikahan misalnya.
Dus, kalau dalam tinjauan filsafat hukum ada korelasi antara nilai, asas, norma, dan sikap tindak yang biasa kita mengenalnya dengan istilah “Piramida Hukum”, maka seyogyanya hukum pun menjunjung tinggi/menjamin/menciptakan nilai-nilai keadilan/kebenaran/kepatuhan/kejujuran. Kenapa? Karena memang dalam piramida hukum “Nilai” diletakan paling atas, dan dibawahnya secara berurutan baru ada “Asas”, “Norma”, dan “Sikap Tindak”. Demikian kata Muhammad Erwin, S.H., M.Hum dalam Bukunya “Filsafat Hukum” Refleksi Kritis terhadap Hukum dan Hukum Indonesia (Dalam Dimensi Ide dan Aplikasi).
Bila “Nilai Independensi, Efektifitas, dan Berkeadilan” dapat kita tafsirkan sebagai hasil pertimbangan Mahkamah Agung RI yang hendak dicapai, maka nilai tersebut menjadi patokan pokok terwujudnya asas “Acces To Justice”. Konsepsi abstrak tentang bagaimana harusnya yang mewujud dalam asas tersebut, kemudian menjadi unsur pokok pembentukan isi norma “PERMA Nomor 1 Tahun 2014”. Nah kongkretisasi patokan yang menjadi pilihan yang mewujud dalam norma PERMA Nomor 1 Tahun 2014 tersebut pada akhirnya akan menjadi pedoman dalam bersikap tindak dan berperilaku dalam pelaksanaan kegiatan “Prodeo, Sidang Di Luar Gedung Pengadilan, dan Posbakum”.
Namun bila memang di rasa dengan adanya program unggulan berupa Prodeo dan Sidang Di Luar Gedung Pengadilan tersebut kemudian mengancam tegaknya nilai kepatuhan atau ketaatan hukum, terutama bila perkara-perkara yang mendapatkan layanan pembebasan biaya perkara tersebut merupakan perkara pengesahan nikah, maka untuk pula menegakkan nilai kepatuhan/ketaatan hukum perlu nilai keseimbangan. Artinya kita tidak berharap dengan adanya layanan prodeo dan Sidang Di Luar Gedung Pengadilan dalam perkara permohonan nikah tersebut lalu melahirkan kesimpulan dari masyarakat bahwa “ternyata sungguhpun menikah di bawah tangan ternyata tetap mendapatkan kemudahan di kemudian hari, yakni sudah dibebaskan dari biaya perkara, dimanjakan dengan sidang didekatkan atau didatangi”. Jangan sampai kesimpulan salah tersebut tertancap dalam pikiran masyarakat.
Kalau semisal nilai keadilan dalam arti kemudahan akses terhadap pengadilan dan/atau keadilan diperoleh, namun di saat bersamaan ternyata mengancam nilai kepatuhan/ketaatan hukum, maka perlu kebijakan yang dapat menyelamatkan kedua nilai di kedua sisi yang berbeda tersebut dengan formula keseimbangan. Apa yang sekiranya yang bisa dijadikan sebagai penyeimbang tersebut? Yaitu adanya kebijakan atau norma yang membatasi peristiwa-peristiwa perkawinan di bawah tangan yang dapat diajukan permohonan melalui Sidang Di Luar Gedung Pengadilan, yang dalam hal ini mungkin yang paling pas adalah terkait waktu dilangsungkannya perkawinan di bawah tangannya tersebut.
Dengan adanya norma hukum yang bertujuan mencapai nilai keadilan bagi mereka yang perkawinannya sebab suatu hal memaksa ia untuk dilangsungkan tanpa pencatatan, maka tentu kita berharap dengan adanya program prodeo & Sidang Di Luar Gedung Pengadilan tentunya berakibat semakin hari semakin berkurang bahkan tidak ada lagi masyarakat yang menikah secara di bawah tangan. Bukan malah sebaiknya, karena kesimpulan salah di atas lalu justru menyuburkan praktek pernikahan tanpa pencatatan atau perkawinan di bawah umur. Dan bila ini yang terjadi maka the ultimate goal dari hukum tidak secara bersama tercapai. Bahwa benar mungkin nilai keadilan sebagai salah satu the ultimate goal-nya tersebut tercatat, namun di saat bersamaan the ultimate goal yang lain yakni nilai kepatuhan/ketaatan hukum terkait pencatatan nikah akan susah untuk ditegakkan.
Nah, tentu pada akhirnya kita berharap, program unggulan berupa prodeo dan Sidang Di Luar Gedung Pengadilan betapapun di dalamnya banyak melayani permohonan pengesahan nikah yang tidak tercatat, tetap akan lestari karena norma itu berpatokan dari asas acces to justice yang the ultimate goal-nya adalah nilai keadilan. Akan tetapi di saat yang sama, nilai cerminan kehendak masyarakat yang lain yakni nilai kepatuhan/ketaatan hukum yang dalam hal ini berarti pencatatan perkawinan atau menikah harus tercatat, pun harus tercapai. Dan untuk menyeimbangkan kedua nilai yang seakan berantinomi tersebut perlu ada norma atau kebijakan-kebijakan lain, yaitu semisal pembatasan waktu atau tahun peristiwa perkawinan yang dapat atau boleh dilakukan pengesahan. Wallhu a’lam bissowab. (MA)
Hits: 28